Suara Bangsa

“Tiga Kali Dirawat, Tiga Kali Ditinggal“ Di Tengah Sepi, Hadir Cahaya

 

Penulis: Tajuddin Nudju

Tahun 2016, langit hidupku terasa runtuh. Tubuh yang selama ini kuandalkan mulai mengkhianati. Aku jatuh sakit, bukan hanya flu ringan atau demam biasa—ini sakit yang membuatku harus tiga kali diopname di Rumah Sakit karna penyakit jantung. Tiga kali terbaring lemah, dengan infus menusuk nadi dan aroma antiseptik yang menusuk hidung. Hari-hari di rumah sakit bukan hanya ujian fisik, tapi juga ujian hati.

Di saat seperti itu, orang biasanya berharap dukungan dari keluarga. Aku pun begitu. Kupikir, adik-adikku, sepupu-sepupuku—orang-orang yang kusebut darah dan dagingku—akan datang, membawa sedikit semangat, pelukan, atau sekadar senyum. Tapi hari berganti, ranjangku tetap sepi dari mereka. Tak ada suara khas keluarga yang memanggil namaku dengan penuh kasih. Tak ada genggaman tangan dari mereka yang dulu tumbuh bersamaku. Sepi. Dingin. Sunyi.

Namun, justru di tengah kehampaan itu, semesta menunjukkan kejutan lain. Teman-teman lamaku datang—satu per satu. Teman SMP, teman SMA, bahkan teman kuliah anakku yang tak terlalu kukenal—mereka hadir silih berganti, membawa doa dan senyum tulus. Mereka datang tanpa kewajiban, hanya karena rasa peduli. Setiap mereka datang, jantungku berdetak sedikit lebih kuat. Aku merasa hidup kembali. Di tengah kesakitan, aku menemukan harapan.

Salah satu hari yang paling kuingat adalah ketika seorang perawat mendekatiku dengan raut hormat, lalu bertanya, “Bapak dosen, ya?” Aku tersenyum samar, menahan geli dan haru sekaligus. Mungkin karena mereka melihat banyak yang datang menjengukku, atau karena caraku bicara. Entah. Tapi dalam hati, aku bangga. Meski bukan dosen, hari itu aku merasa seperti seseorang yang berarti. Seperti tokoh penting dalam hidup orang lain.

Tiga kali dirawat, tiga kali kutunggu keluarga yang tak datang. Tapi juga tiga kali aku belajar: keluarga tidak selalu soal darah. Kadang, keluarga adalah mereka yang tak punya hubungan darah, tapi memilih hadir saat dunia membelakangimu.

Itulah kisahku di tahun 2016—kisah tentang sakit, sepi, dan cinta yang datang dari tempat yang tak terduga. Tentang pengkhianatan diam-diam dari mereka yang kusebut keluarga, dan kehangatan tak disangka dari sahabat-sahabat lama. Dari sana aku belajar satu hal penting: dalam hidup, yang paling berarti bukan seberapa banyak orang yang kau miliki, tapi siapa yang tetap tinggal saat semuanya terasa hilang.( kissah nyata ) bukan kaleng kaleng

Berita Terkait
Berita Populer